PERSONALIA KUA BATUCEPER


Kepala : Drs. PIPIN ARIPIN KARIM




Penghulu : Imam Abdul Kudus Nurul Yakin




Pelaksana:
Rama
Tika Atikah, S.Pd.
Titin Maemunah
Asenah
Dede Arief Yanti, S.S.
Wana
Buang Ismail




Penais :
Siti Asmaya, S.Ag.




Pengawas Pendidikan Islam:
H. Abas Basuni, S.Ag., M.M.
A. Syaehullah FR, S.Pd.




Minggu, 25 Juli 2010

KUA PERCONTOHAN

Berdasarkan SK Ka Kanwil Kemenag Propinsi Banten Nomor : KW.28/I/OT.01.3/1852A/2010 ; tanggal 30 Juni 2010, KUA Kecamatan Batuceper Kota Tangerang ditetapkan sebagai TERBAIK KEDUA KUA KECAMATAN Teladan/Percontohan Tingkat Propinsi Banten Tahun 2010.
Semoga menjadi motivasi dan menambah spirit untuk berkarya lebih baik lagi di masa datang.



Foto Upacara Pembukaan Penilaian.
Dari Kiri: 1. Ketua MUI Kec. Batuceper: KH. Holil, Camat Batuceper, Drs. H. Damiati, SH,MH, Kabid Urais, Drs. H. Iskandar Bunyamin,MM, Ka Subag TU, Drs. H. M. Najib, MM, Ka KUA Batuceper, Drs. H. Muthori


Selasa, 20 Juli 2010




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut agamanya masing-masing;
b. bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu menunaikannya;
c. bahwa upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji perlu terus dilakukan agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar dengan menjunjung tinggi semangat keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;


Mengingat:       Pasal 20, Pasal 20 A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
2. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji.
3. Jemaah Haji adalah Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
4. Warga Negara adalah Warga Negara Indonesia.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.

6. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Komisi Pengawas Haji Indonesia, yang selanjutnya disebut KPHI, adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji.
8. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.
9. Pembinaan Ibadah Haji adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penyuluhan dan pembimbingan bagi Jemaah Haji.
10. Pelayanan Kesehatan adalah pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan Jemaah Haji.
11. Paspor Haji adalah dokumen perjalanan resmi yang diberikan kepada Jemaah Haji untuk menunaikan Ibadah Haji.
12. Akomodasi adalah perumahan atau pemondokan yang disediakan bagi Jemaah Haji selama di embarkasi atau di debarkasi dan di Arab Saudi.
13. Transportasi adalah pengangkutan yang disediakan bagi Jemaah Haji selama Penyelenggaraan Ibadah Haji.
14. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
15. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah pihak yang menyelenggarakan ibadah haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
16. Ibadah Umrah adalah umrah yang dilaksanakan di luar musim haji.
17. Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU, adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat.
18. Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut BP DAU, adalah badan untuk menghimpun, mengelola, dan mengembangkan Dana Abadi Umat.
19. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang agama.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.
Pasal 3
Penyelenggaraan Ibadah Haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi Jemaah Haji sehingga Jemaah Haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 4

(1) Setiap Warga Negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan Ibadah Haji dengan syarat:
a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan
b. mampu membayar BPIH.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 5
Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji berkewajiban sebagai berikut:
a. mendaftarkan diri kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji kantor Departemen Agama kabupaten/kota setempat;
b. membayar BPIH yang disetorkan melalui bank penerima setoran; dan
c. memenuhi dan mematuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji.


Bagian Kedua
Kewajiban Pemerintah

Pasal 6
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan Ibadah Haji, Akomodasi, Transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji.
Bagian Ketiga
Hak Jemaah Haji

Pasal 7
Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi:
a. pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
b. pelayanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan yang memadai, baik di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
c. perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia;
d. penggunaan Paspor Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji; dan
e. pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.


BAB IV
PENGORGANISASIAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8

(1) Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(2) Kebijakan dan pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mengoordinasikannya dan/atau bekerja sama dengan masyarakat, departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
(4) Pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(5) Dalam rangka pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pemerintah membentuk satuan kerja di bawah Menteri.
(6) Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas dan tanggung jawab KPHI.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 9
Penyelenggaraan Ibadah Haji dikoordinasi oleh:
a. Menteri di tingkat pusat;
b. gubernur di tingkat provinsi;
c. bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota; dan
d. Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi.
Pasal 10

(1) Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(2) Pelaksana Penyelenggaraan Ibadah Haji berkewajiban menyiapkan dan menyediakan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan Ibadah Haji sebagai berikut:
a. penetapan BPIH;
b. pembinaan Ibadah Haji;
c. penyediaan Akomodasi yang layak;
d. penyediaan Transportasi;
e. penyediaan konsumsi;
f. Pelayanan Kesehatan; dan/atau
g. pelayanan administrasi dan dokumen.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Penyelenggara Ibadah Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji

Pasal 11

(1) Menteri membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji di tingkat pusat, di daerah yang memiliki embarkasi, dan di Arab Saudi.
(2) Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji, Menteri menunjuk petugas yang menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a. Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI);
b. Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI); dan
c. Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI).
(3) Gubernur atau bupati/wali kota dapat mengangkat petugas yang menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a. Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD); dan
b. Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD).
(4) Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan petugas operasional pusat dan daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan mekanisme pengangkatan petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Ketiga
Komisi Pengawas Haji Indonesia

Pasal 12

(1) KPHI dibentuk untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
(2) KPHI bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) KPHI bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
(4) KPHI memiliki fungsi:
a. memantau dan menganalisis kebijakan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia;
b. menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat;
c. menerima masukan dan saran masyarakat mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji; dan
d. merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(5) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPHI dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan DPR paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.


Pasal 13
KPHI dalam melaksanakan tugasnya bersifat mandiri.
Pasal 14
(1) KPHI terdiri atas 9 (sembilan) orang anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur masyarakat 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah 3 (tiga) orang.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditunjuk dari departemen/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(5) KPHI dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(6) Ketua dan Wakil Ketua KPHI dipilih dari dan oleh anggota Komisi.

Pasal 15
Masa kerja anggota KPHI dijabat selama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 16
Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan DPR.
Pasal 17
Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPHI, calon anggota harus memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia;

b. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c. mempunyai komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji;
d. mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas dan mendalam tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan;
f. mampu secara rohani dan jasmani; dan
g. bersedia bekerja sepenuh waktu.

Pasal 18
Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas KPHI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 19
(1) Dalam melaksanakan tugasnya KPHI dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas pertimbangan KPHI.
(3) Sekretaris dalam melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada pimpinan KPHI.


Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota KPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB V
BIAYA PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

Pasal 21

(1) Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan DPR.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 22

(1) BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Penerimaan setoran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan kuota yang telah ditetapkan.


Pasal 23

(1) BPIH yang disetor ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikelola oleh Menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat.
(2) Nilai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan langsung untuk membiayai belanja operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.


Pasal 24
(1) Jemaah Haji menerima pengembalian BPIH dalam hal:
a. meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan Ibadah Haji; atau
b. batal keberangkatannya karena alasan kesehatan atau alasan lain yang sah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian dan jumlah BPIH yang dikembalikan diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 25

(1) Laporan keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji disampaikan kepada Presiden dan DPR paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Penyelenggaraan Ibadah Haji selesai.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila terdapat sisa dimasukkan dalam DAU.


BAB VI
PENDAFTARAN DAN KUOTA

Pasal 26

(1) Pendaftaran Jemaah Haji dilakukan di Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dengan mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan persyaratan pendaftaran diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai Warga Negara di luar negeri yang akan menunaikan Ibadah Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28

(1) Menteri menetapkan kuota nasional, kuota haji khusus, dan kuota provinsi dengan memperhatikan prinsip adil dan proporsional.
(2) Gubernur dapat menetapkan kuota provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota kabupaten/kota.
(3) Dalam hal kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran, Menteri dapat memperpanjang masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 29
(1) Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, Menteri menetapkan:
a. mekanisme dan prosedur Pembinaan Ibadah Haji; dan
b. pedoman pembinaan, tuntunan manasik, dan panduan perjalanan Ibadah Haji.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar BPIH yang telah ditetapkan.


Pasal 30

(1) Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, masyarakat dapat memberikan bimbingan Ibadah Haji, baik dilakukan secara perseorangan maupun dengan membentuk kelompok bimbingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bimbingan Ibadah Haji oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VIII
KESEHATAN

Pasal 31

(1) Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Ibadah Haji, baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji, dilakukan oleh menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh Menteri.


BAB IX
KEIMIGRASIAN

Pasal 32

(1) Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji menggunakan Paspor Haji yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya menandatangani Paspor Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB X
TRANSPORTASI

Bagian Kesatu
Pelaksanaan Transportasi

Pasal 33

(1) Pelayanan Transportasi Jemaah Haji ke Arab Saudi dan pemulangannya ke tempat embarkasi asal di Indonesia menjadi tanggung jawab Menteri dan berkoordinasi dengan menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perhubungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 34
Penunjukan pelaksana Transportasi Jemaah Haji dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi.
Pasal 35

(1) Transportasi Jemaah Haji dari daerah asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


Bagian Kedua
Barang Bawaan

Pasal 36

(1) Jemaah Haji dapat membawa barang bawaan ke dan dari Arab Saudi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan.


BAB XI
AKOMODASI

Pasal 37

(1) Menteri wajib menyediakan Akomodasi bagi Jemaah Haji tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar BPIH yang telah ditetapkan.
(2) Akomodasi bagi Jemaah Haji harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan Jemaah Haji beserta barang bawaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan Akomodasi bagi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB XII
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS

Pasal 38

(1) Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus, dapat diselenggarakan Ibadah Haji Khusus yang pengelolaan dan pembiayaannya bersifat khusus.
(2) Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang telah mendapat izin dari Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksana Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 39
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, yang akan diberi izin oleh Menteri, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. terdaftar sebagai penyelenggara perjalanan umrah;

b. memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus; dan
c. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Ibadah Haji.

Pasal 40
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menerima pendaftaran dan melayani Jemaah Haji hanya yang menggunakan Paspor Haji;
b. memberikan bimbingan Ibadah Haji;
c. memberikan layanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan secara khusus; dan
d. memberangkatkan, memulangkan, dan melayani Jemaah Haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan Jemaah Haji.


Pasal 41
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan izin penyelenggaraan; atau
c. pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN PERJALANAN IBADAH UMRAH

Pasal 43

(1) Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau rombongan melalui penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah.
(2) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 44
Biro perjalanan wisata dapat ditetapkan sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah;

b. memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah; dan
c. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Ibadah Umrah.

Pasal 45

(1) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan;
b. memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan
d. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 46

(1) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan izin penyelenggaraan; atau
c. pencabutan izin penyelenggaraan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XIV
PENGELOLAAN DANA ABADI UMAT

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 47

(1) Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan DAU secara lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat Islam, Pemerintah membentuk BP DAU.
(2) BP DAU terdiri atas ketua/penanggung jawab, dewan pengawas, dan dewan pelaksana.
(3) Pengelolaan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan Ibadah Haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah.


Bagian kedua
Tugas dan Fungsi

Pasal 48

(1) BP DAU bertugas menghimpun, mengelola, mengembangkan, dan mempertanggungjawabkan DAU.
(2) BP DAU memiliki fungsi:
a. menghimpun dan mengembangkan DAU sesuai dengan syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. merencanakan, mengorganisasikan, mengelola, dan memanfaatkan DAU; dan
c. melaporkan pengelolaan DAU kepada Presiden dan DPR.


Pasal 49
(1) Dewan pengawas memiliki fungsi:
a. menyusun sistem pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, dan pengawasan DAU;
b. melaksanakan penilaian atas rumusan kebijakan, rencana strategis dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;
c. melaksanakan pengawasan dan pemantauan atas pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan DAU; dan
d. menilai dan memberikan pertimbangan terhadap laporan tahunan yang disiapkan oleh dewan pelaksana sebelum ditetapkan menjadi laporan BP DAU.
(2) Dalam pelaksanaan pengawasan keuangan, dewan pengawas dapat menggunakan jasa tenaga profesional.


Pasal 50
Dewan pelaksana memiliki fungsi:
a. menyiapkan rumusan kebijakan, rencana strategis, dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;
b. melaksanakan program pemanfaatan dan pengembangan DAU yang telah ditetapkan;
c. melakukan penatausahaan pengelolaan keuangan dan aset DAU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan penilaian atas kelayakan usul pemanfaatan DAU yang diajukan oleh masyarakat;
e. melaporkan pelaksanaan program dan anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU secara periodik kepada dewan pengawas; dan
f. menyiapkan laporan tahunan BP DAU kepada Presiden dan DPR.

Bagian Ketiga
Struktur dan Pengorganisasian

Pasal 51
Ketua/Penanggung Jawab BP DAU adalah Menteri.
Pasal 52
(1) Dewan Pengawas BP DAU terdiri atas 9 (sembilan) orang anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur masyarakat 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah 3 (tiga) orang.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari departemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang agama.
(5) Dewan Pengawas BP DAU dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(6) Ketua dan wakil ketua dewan pengawas dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pengawas.


Pasal 53
(1) Dewan Pelaksana BP DAU terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan ditunjuk oleh Menteri.
(3) Dewan Pelaksana dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh Menteri dari anggota Dewan Pelaksana.


Pasal 54

(1) Masa kerja anggota dewan pengawas dan dewan pelaksana dijabat selama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan anggota dewan pengawas dan dewan pelaksana, hubungan kerja, dan mekanisme kerja masing-masing diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 55
Pengangkatan dan pemberhentian ketua dan anggota dewan pengawas serta ketua dan anggota dewan pelaksana ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 56
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BP DAU dibantu oleh sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat BP DAU diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Pengembangan dan Pembiayaan

Pasal 57
Pengembangan DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) meliputi usaha produktif dan investasi yang sesuai dengan syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 58
Hasil pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dapat digunakan langsung sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah ditetapkan.
Pasal 59
BP DAU dapat memperoleh hibah dan/atau sumbangan yang tidak mengikat dari masyarakat atau badan lain.
Pasal 60

(1) Biaya operasional BP DAU dibebankan pada hasil pengelolaan dan pengembangan DAU.
(2) Dalam hal tertentu, biaya operasional BP DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibiayai oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri sebagai Ketua/Penanggung Jawab BP DAU.


Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan DAU diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pertanggungjawaban

Pasal 62
Ketua/Penanggung Jawab BP DAU menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan DAU kepada Presiden dan DPR setiap tahun.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 63

(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan/atau sebagai penerima pendaftaran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Pasal 64

(1) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65

(1) KPHI sudah harus dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Pemerintah menjalankan tugas dan fungsi KPHI sampai dengan terbentuknya KPHI.


BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 67
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 68
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 69
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 60




PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

I. UMUM

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang memenuhi syarat istitaah, baik secara finansial, fisik, maupun mental, sekali seumur hidup. Di samping itu, kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang semakin terbatas juga menjadi syarat dalam menunaikan kewajiban ibadah haji. Sehubungan dengan hal tersebut, Penyelenggaraan Ibadah Haji harus didasarkan pada prinsip keadilan untuk memperoleh kesempatan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas nasional karena jumlah jemaah haji Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan. Di samping itu, Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan di negara lain dalam waktu yang sangat terbatas yang menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Di sisi lain adanya upaya untuk melakukan peningkatan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tuntutan reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, Penyelenggaraan Ibadah Haji perlu dikelola secara profesional dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah haji dengan prinsip nirlaba.
Untuk menjamin Penyelenggaraan Ibadah Haji yang adil, profesional, dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah, diperlukan adanya lembaga pengawas mandiri yang bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
Upaya penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji secara terus-menerus dan berkesinambungan yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jemaah haji sejak mendaftar sampai kembali ke tanah air. Pembinaan haji diwujudkan dalam bentuk pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan kepada masyarakat dan jemaah haji. Pelayanan diwujudkan dalam bentuk pemberian layanan administrasi dan dokumen, transportasi, kesehatan, serta akomodasi dan konsumsi. Perlindungan diwujudkan dalam bentuk jaminan keselamatan dan keamanan jemaah haji selama menunaikan ibadah haji.
Karena penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat serta nama baik bangsa, kegiatan penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggung jawab Pemerintah. Namun, partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Partisipasi masyarakat tersebut direpresentasikan dalam penyelenggaran ibadah haji khusus dan bimbingan ibadah haji yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Untuk terlaksananya partisipasi masyarakat dengan baik, diperlukan pengaturan, pengawasan, dan pengendalian dalam rangka memberikan perlindungan kepada jemaah haji.
Di samping menunaikan ibadah haji, setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dianjurkan menunaikan ibadah umrah bagi yang mampu dalam rangka meningkatkan kualitas keimanannya. Ibadah umrah juga dianjurkan bagi mereka yang telah menunaikan kewajiban ibadah haji. Karena minat masyarakat untuk menunaikan ibadah umrah sangat tinggi, perlu pengaturan agar masyarakat dapat menunaikan ibadah umrah dengan aman dan baik serta terlindungi kepentingannya. Pengaturan tersebut meliputi pembinaan, pelayanan administrasi, pengawasan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah, dan perlindungan terhadap jemaah umrah.
Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas publik, pengelolaan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) dan hasil efisiensi BPIH dalam bentuk dana abadi umat (DAU) dilaksanakan dengan prinsip berdaya guna dan berhasil guna dengan mengedepankan asas manfaat dan kemaslahatan umat. Agar DAU dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kemaslahatan umat, pengelolaan DAU juga dilakukan secara bersama oleh Pemerintah dan masyarakat yang direpresentasikan oleh Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan lbadah Haji dipandang perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan lbadah Haji perlu diganti agar lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta memberikan perlindungan bagi masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji dan umrah.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Yang dimaksud dengan "asas profesionalitas" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya.
Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas dengan prinsip nirlaba" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak untuk mencari keuntungan.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "kenyamanan" adalah tersedianya Transportasi dan pemondokan yang layak dan manusiawi.

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "satuan kerja di bawah Menteri" adalah satuan kerja yang mendukung operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji yang bersifat permanen dan sistemik di tingkat pusat, di tingkat daerah, dan di Arab Saudi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 9

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi" adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah.

Pasal 10

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "penetapan" adalah penetapan BPIH setelah mendapat persetujuan DPR.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengelolaan BPIH dilakukan berdasarkan siklus Penyelenggaraan Ibadah Haji sesuai dengan kalender Hijriah.

Pasal 22

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Menteri" dalam hal BPIH disetorkan ke rekening Menteri" adalah menteri sebagai lembaga yang dalam pelaksanaannya Menteri dapat menunjuk pejabat di lingkungan tugas dan wewenangnya bertindak untuk dan/atau atas namanya.
Bank umum nasional yang dapat ditunjuk menjadi bank penerima setoran BPIH adalah bank umum yang memiliki layanan yang bersifat nasional dan memiliki layanan syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kuota bebas secara nasional" adalah sisa kuota yang disediakan bagi Jemaah Haji yang sudah terdaftar dalam daftar tunggu dengan memperhatikan proporsionalitas kuota provinsi dan kuota Penyelenggara Ibadah Haji Khusus.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Transportasi" termasuk Transportasi selama di Arab Saudi.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dilakukan oleh Menteri Keuangan" adalah pelaksanaan pemeriksaan atas barang bawaan oleh pejabat yang diberi otorisasi oleh Menteri Keuangan.

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Yang diatur dalam Peraturan Pemerintah meliputi, antara lain, persyaratan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus dan sanksi.

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Huruf a
Yang dimaksud dengan "biro perjalanan wisata yang sah" adalah biro perjalanan wisata yang telah terdaftar pada lembaga/instansi yang lingkup dan tugasnya di bidang pariwisata.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "unsur pemerintah" dapat terdiri atas instansi yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan pengembangan DAU.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas

Pasal 66

Cukup jelas

Pasal 67

Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Senin, 07 Juni 2010

sumber http://www.manajemenqalbu.com

Pernikahan Idham dan Rani berlangsung lancar. Kawan-kawan kuliah keduanya banyak yang datang, walaupun resepsi itu dilakukan jauh dari kota dimana mereka berdua menuntut ilmu. Di sudut ruangan, tampak sekelompok akhwat sedang menikmati hidangan. Mereka sedang menggoda Rifa, sahabat Rani, kapan Rifa akan segera menyusul Rani. Ditanya begitu, Rifa hanya tersenyum, dan menjawab, “Jika saatnya tiba.”
Namun tak lama setelah kejadian itu, timbul perasaan-perasaan ingin mengitu jejak Rani di hati Rifa. Meski Rifa sendiri masih galau, apakah dirinya benar-benar sudah siap atau hanya ingin menikah????
Sahabat Muslimah…Banyak akhwat yang mengalami peristiwa yang dialami Rifa dalam ilustrasi diatas. Beberapa diantaranya rata-rata masih tercatat sebagai mahasiswi. Memang, menikah dini di kalangan mahasiswa akhir-akhir ini seolah menjadi trend yang sedang berkembang.

Sahabat Muslimah…Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan seorang akhwat ingin segera mengakhiri masa lajangnya, antara lain:
1. Karena faktor usia
Banyak akhwat yang merasa gelisah karena usia yang sudah cukup untuk menikah, namun belum juga ditunjukkan siapa pendampingnya.
2. Melihat teman yang sudah menikah
Adakalanya, jika teman kita sudah menikah, mereka bercerita kepada kita, betapa indah dan menyenangkannya hidup berumah tangga, sehinga membuat kita ingin segera merasakannya.
3. Dipanas-panasi
Tak dipungkiri, di sebagian kalangan akhwat, salah satu topik favorit yang sering dibicarakan adalah seputar ikhwan dan nikah. Lambat laun, karena seringnya membicarakan hal itu, membuat hati sebagian akhwat kebat-kebit.
Apalagi jika sudah ditambah bumbu-bumbu tertentu. Itulah sebabnya mengapa kita dilarang untuk membicarakan hal-hal yang tidak perlu, karena bisa saja membuat hati kita kotor.
Sebagian lagi beralasan, mereka ingin segera menikah untuk menjaga diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bukan alasan yang salah sebenarnya. Tapi acapkali, karena terburu-buru ingin menikah, banyak hal yang lupa dipersiapkan.
Sahabat muslimah… Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan ketika kita memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Antara lain:
1. Kesiapan Pemikiran yang mencakup:
a. Kematangan Visi Keislaman
Hal ini dimaksudkan, agar pasangan suami istri mempunyai frame yang sama mengenai Islam sebagai dasar rumah tangga, agar rumah tangga benar-benar bernilai ibadah, tidak hanya sebagai pemuas kebutuhan biologis saja. Dengan ajaran Islam sebagai landasan rumah tangga, diharapkan, rumah tangga tersebut dapat menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah warrohmah.
b. Memiliki kematangan visi kepribadian
Disamping beragama secara kultural, banyak juga orang yang landasan keislamannya di bangun oleh emosi. Namun karena tidak dilandasi oleh pengetahuan Islam yang kuat, kadang membuat sebagian orang cepat futur, bosan dan lain sebagainya. Jika hal ini terjadi dalam rumah tangga, bisa menjadi sebab timbulnya kegagalan seseorang dalam berumah tangga.
2. Kesiapan Psikologis
Kematangan psikologis yang dimaksud adalah kematangan atau kesiapan tertentu secara psikis, untuk mengahadapi berbagai tantangan yang akan dihadapi selama hidup berumah tangga. Seringkali karena secara psikologis kondisi seseorang belum siap, membuat pasangan suami istri tidak siap dengan berbagai kondisi pasca nikah.
3. Kematangan Fisik
Ada beberapa hal yang menjadi persyaratan mutlak dalam sebuah perkawinan menurut Islam, yang berkaitan dengan fisik. Antara lain :
a. Seorang laki-laki atau wanita yang kan menikah harus yakin bahwa alat-alat reproduksinya berfungsi dengan baik
Karena salah satu sebab perceraian yang diperbolehkan dalam Islam adalah karena alat reproduksi pasangannya tidak berfungsi dengan baik.
b. Usia
Kita juga harus menyadari, bahwa secara fisik, kita benar-benar sudah siap menikah. Itulah kenapa sebabnya seorang wanita dianjurkan untuk tidak menikah dalam usia yang masih dini. Banyak kasus yang terjadi, dimana anak-anak yang baru keluar dari sekolah dasar (usia sekitar 12-13 tahun) langsung dinikahkan. Di Barat, ada survey yang membuktikan, bahwa orang-orang yang melakukan hubungan seksual terlalu muda, pada umumnya di atas usia tiga puluh tahunan akan mengalami hambatan-hambatan fisik.
Meskipun sekali lagi, tidak ada kriteria tertentu kapan seseorang menjadi matang secara fisik. Ada kasus-kasus tertentu, seperti halnya orang-orang tua zaman dulu, banyak yang tetap sehat dan memiliki keluarga besar, meskipun menikah dalam usia yang masih sangat muda.
c. Kesehatan
Sebelum menikah, usahakan mengetahui kondisi fisik dan kesehatan calon pasangan kita. Kalau bisa, ketahui juga kesehatan keluarga calon pasangan kita itu, karena biasanya ada penyakit tertentu yang merupakan penyakit keturunan.
4. Kesiapan Finansial
Perkawinan juga merupakan kerja ekonomi, tidak hanya cukup dengan cinta. Bukan berarti seorang muslimah harus materialistis. Namun hal ekonomi /finansial kadang menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga. Meskipun ada beberapa pasangan yang merasa cukup hanya dengan bekal cinta saja, akan lebih baik jika kita mempersiapkan finansial sejak jauh-jauh hari.
Sahabat muslimah… Menikah adalah sebuah Mitsaqan Ghalizhan, perjanjian yang sangat berat. Banyak konsekuensi yang harus dijalani suami istri dalam berumah tangga. Jangan pernah mengambil keputusan untuk menikah hanya karena ‘ingin’, sementara banyak faktor yang belum kita persiapkan. Jika sejak awal kita sudah mempersiapkan mahligai rumah tangga yang akan kita bina, niscaya kebahagiaan dunia dan akhirat akan kita rasakan. InsyaAllah. Maka, apakah sahabat sudah ingin menikah, atau benar-benar siap dengan pernikahan ???

Kehidupan seks setelah 5 tahun menikah

Kehidupan seks? Bagaimana kehidupan seks setelah ada anak-anak di kehidupan kita? Bila kita adalah orangtua yang setelah menikah begitu sibuk sehingga Anda hampir tidak punya waktu untuk memikirkan kebutuhan kita sendiri, terutama tentang kehidupan seks kita selepas 5 tahun pernikahan.
kehidupan seks setelah 5 tahun menikah
Hal ini nampak seperti kebutuhan kita sendiri tidak penting, anak-anak yang memiliki prioritas utama dan Anda harus melakukan apa pun untuk menjaga mereka.
Jangan tertipu! Kebutuhan seks adalah penting dan mengabaikan anak-anak tidak baik bagi siapa pun, bukan pasangan Anda dan jelas bukan anak-anak Anda. Tentu Anda tidak dapat melakukan semua hal, kehidupan telah berubah dan kesenangan datang dengan cara yang berbeda. Tapi sebagai orang dewasa dengan kebutuhan dewasa maka kehidupan seks memang harus dipenuhi.
Jadi bagaimana menemukan waktu dan energi untuk seks ketika ada begitu banyak hal lain yang menuntut perhatian Anda? Dibutuhkan sedikit perencanaan dan usaha lebih dulu, tapi Anda harus mengatakan kepada diri sendiri bahwa hal ini bisa terjadi dan sudah pasti akan terjadi.
Jadi bagaimana Anda berhubungan seks lagi? Rencana apa yang akan dilakukan? Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan :
  • Pandai mencari waktu seefektif mungkin. Mungkin pagi-pagi sebelum anak-anak bangun, mungkin segera setelah mereka telah pergi ke tempat tidur. Abaikan piring kotor, pakailah waktu yang sempit seefektif mungkin. Atau pada siang hari sewaktu anak-anak bermain. Anda harus meluangkan waktu semaksimal mungkin demi kebutuhan seks yang dahaga untuk dipenuhi.
  • Melakukan beberapa hal yang membuat Anda berpikir tentang seks. Hal ini bisa jadi sulit untuk mengalihkan otak Anda dari “dunia anak-anak” ke seks sehingga Anda mungkin perlu sedikit bantuan. Menonton film seksi, membaca fiksi erotis bersama-sama pasangan, berpikir kembali ke waktu ketika kau menikmati berhubungan seks “heboh”, kenapa tidak mencobanya lagi?
  • Mandi bersama. Ada sensasi tersendiri tentang telanjang bersama, basah dan saling menggosok/menyabuni pasanganmu.
  • Dan hal yang paling penting yang perlu Anda lakukan – jangan menyerah! Anda dapat menemukan cara untuk mewujudkannya.
Ketahuilah bahwa kebutuhan Anda penting dan Anda akan berfungsi lebih baik ketika kehidupan seks telah terpenuhi.
kehidupan seks setelah 5 tahun menikah
This entry was posted in Keluarga, Seks and tagged , . Bookmark the permalink.

Senin, 31 Mei 2010

SIGHAT TA'LIQ

Sesudah akad nikah, Saya, <nama suami bin > berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli istri saya bernama <nama istri binti> dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut syari’at Islam.”
Selanjtnya, saya mengucapkan sighat ta'alik atas isteri saya tersebut sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya 1. meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut, 2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, 3. atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya, 4. atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.”
Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu, kemudian menyerahkannya kepada  Direktorat Bimas Islam dan Urusan Haji c.q. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari'ah untuk keperluan ibadah sosial.